Haji Agus Salim “The Grand Old Man”

Haji Agus Salim

[BP] – Tatar Sunda

Seorang bayi laki-laki lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat pada 8 Oktober 1884 dan diberi nama Masyudul Haq, nama seorang tokoh dari sebuah buku yang dibaca ayahnya, Sutan Mohammad Salim. Orang tuanya berharap anaknya itu kelak menjadi seorang yang sesuai dengan arti namanya yaitu si “pembela kebenaran.”

Sejarawan Asvi Warman Adam dalam H. Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, ketika Masyudul kecil, dia diasuh oleh seorang pembantu asal pulau Jawa yang memanggil anak majikannya “den bagus” yang kemudian dipendekan menjadi “gus.” Pada akhirnya teman sekolah dan guru-gurunya pun ikut memanggilnya “Agus”.

Agus Salim diterima pada sekolah dasar Belanda, ELS (Europeese Lagere School) pada usia 6 tahun. Setelah lulus, dia dikirim ke Batavia untuk belajar di HBS (Hogere Burger School). Dia lulus dengan angka tertinggi, tidak saja di sekolahnya, tetapi juga untuk sekolah HBS lain (Bandung dan Surabaya). Namanya terkenal di seantero Hindia Belanda di kalangan kaum kolonial dan terpelajar.

Beasiswa kedokteran yang diajukan Agus Salim ditolak pemerintah Belanda. RA Kartini mengusulkan agar beasiswa yang diterimanya sebesar 4.800 gulden diberikan kepada Agus Salim juga tidak dikabulkan.

Pada 1905, Agus Salim mendapatkan tawaran bekerja di konsulat Belanda di Jedah sebagai penerjemah dan pengurus urusan haji. 

Pada periode inilah, dia memperdalam agama Islam dengan berguru pada pamannya, Syeh Ahmad Khatib. Sepulang ke Tanah Air, dia sempat bekerja di dinas pekerjaan umum. 

Pada 1917, dia terjun ke dunia media massa dengan mendirikan dan sebagai pemimpin redaksi harian Neratja, Hindia Baroe, Fadjar Asia, dan Moestika. Bersamaan dengan itu, dia terjun ke dunia politik pergerakan melalui Sarekat Islam.

Tahun1921-1924, Agus Salim menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili Sarekat Islam. Meskipun poliglot (menguasai sembilan bahasa asing), dia justeru orang pertama yang berpidato dalam bahasa Melayu di sidang Volksraad.

Selama masa kolonial Belanda, Agus Salim tidak pernah ditangkap karena kegiatan politiknya. Namun, setelah Indonesia merdeka, dia bersama pemimpin pergerakan seperti Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir, beberapa kali diasingkan.

Agus Salim beberapa kali menduduki posisi menteri muda luar negeri Kabinet Sjahrir II, menteri luar negeri kabinet Amir Sjarifuddin dan Kabinet Mohammad Hatta. Dia dan beberapa tokoh lain berjasa dalam pengakuan kedaulatan dari negara-negara Timur Tengah.

Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada 1953 Agus Salim mengarang sejumlah buku yang di antaranya adalah “Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan?” yang diperbaiki menjadi “Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal”.

Agus Salim menikahi Zaenatun Nahar dan dikaruniai delapan orang anak.

Menurut Bung Karno, “The Grand Old Man (orang besar yang sudah tua). Haji Agus Salim seorang ulama dan intelek”.

The Grand Old Man meninggal dunia pada 4 November 1954 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama jalan dan stadion sepakbola di Padang. [jayadewata]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *