[BP] – Tatar Sunda
Laksamana Malahayati Vs. Kapitein Cornelis de Houtman
Empat buah kapal berbendera Belanda mendarat di pelabuhan Banten. Itu terjadi pada tahun 1596. Mereka datang untuk membeli rempah-rempah. Keempat kapal Belanda itu berada di bawah komando Cornelis de Houtman.
Ia seorang veteran perang Belanda. Di Banten, orang-orang Belanda itu bersikap tidak bersahabat sehingga menimbulkan rasa benci bagi penduduk pribumi.
Terhadap pedagang rempah-rempah mereka memaksa membeli dengan harga rendah, sehingga menimbulkan kemarahan.
Akibatnya, perkelahian tidak dapat dihindarkan lagi. Awak kapal Belanda banyak yang menemui ajal. Yang selamat segera menuju kapal dan Cornelis de Houtman akhirnya memutuskan meninggalkan pelabuhan Banten dengan tangan hampa.
Laksamana Malahayati memenangkan duel satu lawan satu menghadapi Kapitein Cornelis de Houtman.
Pada tahun 1598, Cornelis de Houtman datang lagi ke Indonesia. Tujuannya kali ini bukan Banten, melainkan Aceh.
Cornelis de Houtman memimpin 225 awak kapal Belanda yang bernama De Leewen dan De Leewin. Mereka ke Aceh hendak membeli lada Aceh yang cukup dikenal oleh orang-orang Eropa.
Kedatangan orang-orang Belanda diterima dengan baik. Bahkan Sultan Aceh, mengundang mereka ke istana dengan acara jamuan resmi.
Dalam jamuan itulah Sultan Aceh memberikan izin kepada orang-orang Belanda itu untuk membeli lada dari Aceh.
Beberapa hari setelah acara jamuan itu, Laksamana Malahayati menuju pelabuhan untuk meninjau kapal-kapal Belanda.
Tetapi kejadian yang pernah dilakukan orang-orang Belanda dua tahun sebelumnya terhadap orang-orang Banten terulang lagi.
Mereka tidak menunjukkan sikap bersahabat. Terjadilah perang mulut dan akhirnya saling baku hantam. Pada saat itulah Cornelis de Houtman tiba-tiba mencabut pedangnya dan diarahkan ke tubuh syahbandar pelabuhan Aceh.
Dalam waktu yang bersamaan, Malahayati secepat kilat mencabut rencongnya, dan tak ayal lagi senjata itu menembus dada orang Belanda yang congkak itu.
Perkelahian terbuka segera saja meletus. Namun karena kekuatan tidak seimbang, Malahayati bersama pengikutnya terpaksa menyelamatkan diri dengan menceburkan diri ke laut.
Belanda semakin menunjukkan kecongkakannya dengan menembakan peluru-peluru meriamnya. Setelah berhasil selamat, Laksamana Malahayati segera melakukan pengepungan terhadap kapal-kapal Belanda itu.
Kapal De Leewin yang berhasil ke luar dari pelabuhan segera dihujani peluru meriam. Kapal itu terbakar dan tenggelam.
Sementara itu kapal De Leeuwen yang mencoba menyelamatkan diri menuju laut lepas dapat ditangkap dan diseret kembali ke pelabuhan Aceh.
Dalam peristiwa itu, sebanyak 30 awak kapal Belanda ditawan. Salah seorang di antaranya bernama Frederick de Houtman, orang kedua pada rombongan kapal Belanda itu, sebagai wakil Cornelis de Houtman yang telah terbunuh.
Awak kapal Belanda itu, akhirnya dihadapkan ke pangadilan. Sebagai pembela ditunjuk Teuku Lam Gugob dan Teuku Imuem Ateuk.
Yang menarik, ternyata Malahayati memohon izin Sultan Aceh untuk diizinkan menjadi pembela pula. Permohonan Malahayati dikabulkan. Jadilah ia pembela orang-orang Belanda itu di pengadilan.
Setelah melalui beberapa kali sidang, akhirnya hakim menjatuhkan hukuman mati terhadap 30 awak kapal Belanda yang diadili.
Menurut hakim, mereka terbukti melakukan kekacauan di negeri orang dan tidak menghormati kedaulatan suatu negeri.
Terhadap hukuman mati itu, Malahayati mengajukan banding dan mengadakan pembelaan yang gigih.
Dikatakannya, bahwa tindakan orang-orang Belanda itu merupakan hal yang tidak direncanakan. Bila hukuman mati terpaksa dilakukan, maka Aceh akan menerima akibatnya.
Sebab saat itu Aceh sendiri sedang mengadakan dan menjalin hubungan dengan beberapa negara di Eropa. Hukuman mati akan merenggangkan hubungan Aceh dengan negara Eropa.
Dalam pembelaannya, Malahayati mengusulkan agar hukuman mati itu diubah menjadi hukuman seumur hidup.
Ternyata pembelaan Malahayati itu disetujui oleh sidang. Maka hukuman mati itu pun diubah menjadi hukuman seumur hidup.
Laksamana Malahayati sebagai seorang negarawan
Laksamana Malahayati selain ahli mengatur siasat dalam bertempur juga seorang ahli kenegaraan. Ia menguasai bahasa Inggris, Perancis, Belanda dan juga bahasa Spanyol.
Oleh karena itulah Sultan Aceh mengangkatnya pula sebagai pejabat yang mengurus perutusan-perutusan baik di dalam negeri mau pun yang keluar negeri.
Berkenaan dengan tugas itulah, maka jika ada utusan dari negeri lain yang datang ke Aceh, maka sebelum menghadap Sultan Aceh utusan itu harus terlebih dahulu menemui Malahayati.
Sultan Aceh bahkan sering meminta pendapat Malahayati sebelum mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan hubungan negeri lain.
Kejadian yang menimpa Cornelis de Houtman beserta anak buahnya di Aceh, amat menggemparkan kerajaan Belanda.
Prins Mauris, raja kerajaan Belanda ketika itu langsung mengadakan sidang kerajaan untuk membicarakan kejadian itu.
Dalam sidang kerajaan itu sedikit terjadi silang pendapat. Ada pihak yang mengusulkan agar kerajaan mengirimkan prajurit dan armadanya untuk menggempur Aceh.
Namun di pihak lain, menyatakan ketidaksetujuannya. Alasannya, jika Belanda menyerang Aceh, pastilah pihak Aceh akan menutup perairan Selat Malaka bagi pelayaran kapal-kapal Belanda. Jika hal itu terjadi, kerajaan Belanda akan menanggung kerugian yang besar.
Akhirnya diputuskan, bahwa satu-satunya jalan yang terbaik ialah meminta maaf kepada kerajaan Aceh di samping memohon agar para tawanan yang telah dihukum di Aceh dapat dibebaskan dari hukuman.
Prins Mauris segera mengutus Laksamana Laurens Bicker ke Aceh. Utusan itu membawa surat khusus dari raja Belanda untuk Sultan Aceh.
Di samping itu utusan itu juga membawa hadiah-hadiah untuk kerajaan Aceh sebagai tanda persahabatan.
Ketika utusan Belanda yang terdiri dari empat kapal itu sampai di perairan Aceh, kapal-kapal itu segera saja dikepung oleh armada Aceh.
Armada Aceh tidak menginginkan kejadian yang menimpa Cornelis de Houtman terulang lagi. Oleh karena itu setiap kapal Belanda yang datang, perlu dicurigai.
Laksamana Lauren Bicker beserta lima pembantunya terpaksa turun ke darat dengan pengawalan yang ketat. Mereka dibawa menghadap Laksamana Malahayati.
Tamu asing itu diterima dengan senang hati oleh Malahayati. Apalagi ketika tamu asing itu menyatakan maksud damai dan melupakan kejadian yang dialami Cornelis de Houtman.
Atas saran Laksamana Malahayati, Sultan Aceh bersedia menerima ajakan damai kerajaan Belanda. Di samping itu, kapal-kapal Belanda diperbolehkan pula berdagang dengan orang-orang Aceh. Pengikut Cornelis de Houtman yang dihukum di Aceh juga diberikan keringanan dengan membebaskan mereka dari hukuman.
Dengan demikian, mereka dapat ikut kembali ke negeri Belanda bersama Laksamana Lauren Bicker. Ketika itu, di samping menjalin kerjasama dan persahabatan dengan kerajaan Belanda, Aceh juga menjalin hal yang sama dengan negara lain seperti Inggris yang ketika itu diperintah oleh ratu Elizabeth I.
Demikian pula halnya dengan negeri Cina, Burma, Siam, Jepang, India serta Turki, kerajaan Aceh menjalin persahabatan yang saling menguntungkan.
Dalam hal-hal seperti itulah, peranan Laksamana Malahayati amat besar dan menentukan.
Laksamana Malahayati selaku penjaga Undang-Undang Meukuta Alam Al-Asyi
Ketika usia Sultan Aceh yang juga bergelar Sultan Saidil Mukamil telah menginjak 100 tahun lebih, maka Laksamana Malahayati diberi wewenang untuk mengurusi segala kegiatan pemerintahan.
Baik yang berkaitan dengan urusan dalam kerajaan maupun hubungan dengan negeri mancanegara. Karena memerintah atas nama Sultan, maka seluruh jajaran angkatan perang menjadi tunduk dan patuh atas perintah Laksamana Malahayati.
Seandainya saja Laksamana Malahayati memiliki niat buruk, maka bisa saja ia mengangkat dirinya sebagai Sultanah sebab dengan kekuasaannya itu ia tentu amat mudah menyingkirkan Sultan Aceh yang telah tua.
Namun hal itu sama sekali tak terlintas di benak Laksamana Malahayati. Ia sangat menghargai dan menghormati undang-undang yang telah diputuskan oleh Majelis Kerajaan.
Niat baik Laksamana Malahayati itu, ternyata mendapat ujian pada saat Sultan Aceh berada pada tahun tahun terakhir masa pemerintahannya.
Ujian itu datang dari Pangeran Mahmud Syah, yang menginginkan agar kelak tampuk pemerintahan Aceh jatuh ke tangannya. Memang benar, Pangeran Mahmud Syah adalah putra Sultan Saidil Mukamil.
Tetapi ketika pada tahun 1588 Majelis Kerajaan melantik Sultan Sidi Mukamil menjadi sultan maka bersamaan dengan itu ditetapkan pula bahwa putra mahkota yang berhak menggantikannya kelak adalah Iskandar Muda, putra Sultan Mahmud Syah.
Maka ketika Sultan Mahmud Syah mendekati Laksamana Malahayati untuk memperoleh dukungan tentang usahanya itu, laksamana Aceh yang perkasa itu malah menolaknya.
Dikatakannya bahwa undang-undang harus tetap ditegakkan di Aceh, dan oleh sebab itu semua usaha yang melanggar undang-undang harus ditumpas.
Gagal memperoleh dukungan dari Laksamana Malahayati, Sultan Mahmud Syah mendekati Majelis Kerajaan. Namun Majelis Kerajaan pun menolak usaha yang akan dilakukan Sultan Mahmud Syah itu.
Tekad Sultan Mahmud Syah agaknya tak dapat ditawar-tawar lagi. Ia akan merebut kekuasaan Aceh sebelum Sultan Saidil Mukamil wafat dan juga sebelum Pangeran Iskandar Muda dinobatkan oleh Majelis Kerajaan untuk menduduki tahta Aceh.
Begitulah, ketika pada bulan Juli 1604 Sultan Sidi Mukamil merayakan hari ulang tahunnya, Sultan Mahmud Syah melaksanakan rencananya itu.
Pada saat pembesar Aceh berdatangan menghadiri pesta ulang tahun itu, maka meneroboslah pengikut-pengikut Sultan Mahmud Syah melucuti mereka. Orang-orang yang dianggap menjadi penghalang ditangkap oleh para pengikut Sultan Mahmud Syah.
Serta merta pula Sultan Mahmud Syah mengangkat dirinya menjadi Sultan Aceh. Laksamana Malahayati bersama perwira angkatan perang Aceh, ditawan dan dipenjarakan di Merduwati. Begitu pula Pangeran Iskandar Muda, putra mahkota itu dipenjarakan bersama Laksamana Malahayati.
Sedangkan Sultan Saidil Mukamil ditawan di suatu ruangan dalam istana Aceh. Setahun kemudian, Sultan Aceh yang telah berusia sangat lanjut itu wafat dalam keputusasaan akibat ulah putranya sendiri.
Sementara itu, Laksamana Malahayati bersama Pangeran Iskandar Muda dapat meloloskan diri berkat pertolongan pengikut-pengikutnya yang setia.
Mereka berdua meloloskan diri ke Pidie. Wali negeri Pidie, yaitu adik Sultan Mahmud Syah sangat tidak setuju dengan tindakan kakaknya itu.
Ia malah memberikan dukungan agar Laksamana Malahayati dan Pangeran Iskandar Muda dapat merebut kembali kekuasaan Aceh dari tangan Sultan Mahmud Syah.
Para pengikut Laksamana Malahayati yang sangat tidak menyukai tindakan Sultan Mahmud Syah banyak yang menyarankan agar laksamana perkasa itu melakukan serangan terbuka terhadap Sultan Mahmud Syah.
Namun Laksamana Malahayati dengan penuh kesabaran memberi penjelasan kepada mereka bahwa jika ia melakukan serangan terbuka itu, maka di Aceh akan terjadi perang saudara. Dan hal itu sama sekali tidak diinginkannya.
Laksamana Malahayati sampai tiga tahun bertahan di istana Wali Negeri Pidie, dengan kesehatan dirinya yang semakin menurun. Untuk sementara ia memang mengamati perkembangan kerajaan Aceh dari jauh.
Serbuan Portugis ke Aceh
Melihat keadaan Aceh yang agak melemah saat itu, Portugis ingin memanfaatkan keadaan itu. Mula-mula, datanglah utusan ke Pidie di bawah pimpinan Don Gonzales.
Mereka menemui Laksamana Malahayati. Mereka berpura-pura bermaksud baik dengan menawarkan bantuan tentara untuk merebut kembali ibukota dan sekaligus kekuasaan Aceh dari tangan Sultan Mahmud Syah.
Namun Laksamana Malahayati menolak tawaran itu, dia dengan tegas menolak dan mengatakan bahwa apapun yang terjadi di Aceh adalah urusan orang Aceh sendiri dan bangsa lain tidak berhak untuk turut campur.
Menyadari rencananya tak berhasil, maka utusan Portugis yang dipimpin Don Gonzales itu pun kembali dengan tangan hampa.
Tetapi rupanya Portugis tak puas dengan tolakan tawaran itu. Oleh karena itu, pada bulan Juni 1607, sebanyak 17 kapal perang Portugis telah berada di perairan Banda Aceh.
Rupanya Portugis ingin secara langsung merebut wilayah Aceh. Mereka memperkirakan bahwa Laksamana Malahayati tidak akan mau membantu Sultan Mahmud Syah yang sedang berkuasa.
Maka pada awal Juli 1607, mendaratlah pasukan Portugis di beberapa wilayah kerajaan Aceh.
Laksamana Malahayati yang ketika itu sebenarnya sedang sakit di istana negeri Pidie, ketika mendengar Portugis telah mendaratkan pasukannya di wilayah Aceh mendadak menjadi geram. Seolah-olah, penyakitnya hilang dan muncul semangat untuk bangkit mengusir musuh.
Dengan cepat wanita perkasa itu mengenakan seragam laksamananya dan menggerakkan pasukan yang setia padanya.
Dia berkata kepada para pengikutnya bahwa penjajah harus diusir dari negeri Aceh. Dan semua perbedaan dan pertikaian pribadi harus dilupakan demi kebaikan Aceh.
Pasukan yang dipimpin oleh perwira-perwira kepercayaan Laksamana Malahayati, langsung melakukan serangan ke wilayah Aceh yang telah direbut Portugis.
Laksamana Malahayati sendiri, dengan semangat membara memimpin armada Aceh dari kapal perang komandonya, yakni Kuta Alam.
Armada Laut Aceh pimpinan Laksamana Malahayati kembali bertemu dengan Armada Laut Portugis. Dentuman meriam terdengar menggelegar dari kapal kedua belah pihak.
Sementara suara letusan senjata terdengar ramai bersahutan diiringi teriakan prajurit kedua belah pihak yang terluka atau sekarat.
Sementara di darat, pasukan Aceh berperang dengan gagah berani. Kedua belah pihak saling serang dengan meriam dan juga bedil. Ketika mesiu habis, maka rencong Aceh dan pedang Portugis saling beradu mengadu kekuatan dalam pertarungan hidup dan mati.
Yang lebih hebat lagi, ketika memimpin pasukan di darat, Laksamana Malahayati memberikan petunjuk dan perintaj kepada puluhan ribu pasukannya dari atas tandu karena sakit yang dideritanya.
Tak lebih dari waktu seminggu, seluruh kekuatan Portugis di Aceh berhasil dipukul mundur dan dikalahkan.
Portugis tidak menyangka bahwa serangan pasukan yang dipimpin Laksamana Malahayati benar-benar hebat dan membuat mereka melarikan diri dari kancah pertempuran.
Menyerahnya Portugis dari Aceh, disusul pula oleh wafatnya Sultan Mahmud Syah secara mendadak. Diduga, Sultan itu wafat karena serangan jantung akibat kekhawatirannya sendiri.
Sebab Sultan beranggapan jika Portugis telah dikalahkan oleh pasukan Malahayati, maka tidak urung pula ia akan disingkirkan dari singgasana kerajaan Aceh.
Dengan wafatnya Sultan Mahmud Syah, maka tahta kerajaan Aceh menjadi kosong. Majelis Kerajaan yang pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah dibekukan, akhirnya bekerja kembali dan melakukan sidang untuk menentukan sultan yang baru.
Maka dengan suara bulat, Majelis Kerajaan memilih Pangeran Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh yang kedua puluh.
Pada saat pelantikannya, Laksamana Malahayati terpaksa datang dengan dipapah untuk menyaksikan pelantikan itu.
Sultan Iskandar Muda kelak menjadi Sultan terbesar dalam sejarah Aceh dan Nusantara.
Laksamana Malahayati Wafat
Seusai pelantikan Sultan Aceh yang baru, Laksamana Malahayati meminta agar ia dibawa ke kapal komandonya, Kuta Alam, yang sedang berpangkalan di pelabuhan Ulee Lheu.
Laksamana Malahayati menikmati hari-hari tuanya di atas kapal Kuta Alam, sampai Allah memanggil wanita perkasa ini.
Berbangga Hatilah Kalian Wahai Orang Aceh! Wanita Perkasa Ini Terlahir Di Tanah Kalian. – (tamat). [berbagai sumber: jayadewata]