[BP] – Tatar Sunda
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, tepatnya pada 1 Juni 1945, Sukarno berpidato tentang perlunya dasar negara Indonesia yang akan segera dibentuk. Pada saat itu Sukarno menyodorkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.
Pada akhirnya, 1 Juni hari di mana Sukarno berpidato tentang dasar dan ideologi negara kemudian ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila.
Sebagai penggali Pancasila, Sukarno berusaha agar falsafah negara tersebut diketahui luas oleh masyarakat Indonesia
Menurut Mangil Martowidjojo, komandan Detasemen Kawal Pribadi Resimen Tjakrabirawa yang mengawal Sukarno dan keluarganya, Sukarno membicarakan Pancasila di mana-mana, di seluruh Indonesia.
Mangil mengungkapkan bahwa pada waktu Sukarno berbicara tentang Pancasila di rapat-rapat umum, para tokoh yang mendengarkan pidatonya pada 1 Juni 1945 masih hidup.
Pada saat itu, tidak ada seorang pun yang membantah atau menentang bahwa Pancasila itu bukan galian Bung Karno.
Pada masa kekuasaannya, Presiden Sukarno banyak memberikan kursus-kursus di Istana Negara Jakarta, dan kuliah umum pada Seminar Pancasila di Yogyakarta.
Kumpulan pidato tersebut beserta pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 pada akhirnya dibukukan yang berjudul Pancasila sebagai Dasar Negara.
Awalnya Sukarno merasa cukup dengan kursus atau rapat-rapat umum dalam mengampanyekan Pancasila. Namun, dia kemudian tersentak oleh pernyataan D.N. Aidit, ketua CC PKI.
Menurut Ganis Harsono, juru bicara departemen luar negeri pada era Sukarno, Aidit semakin berani kepada Sukarno karena tidak sabar dan tidak puas terhadap peranan dan posisi PKI yang tidak menentukan dalam alam Sukarnoisme.
Aidit menyadari bahwa semakin lama dia bergandengan dengan Sukarno, tipis harapannya untuk menghancurkan Sukarnoisme.
“Pada permulaan Mei 1964, dia mengejutkan kalangan politisi di Jakarta waktu dia mulai mempertanyakan sahnya Pancasila sebagai falsafah negara,” kata Ganis dalam memoarnya, Cakrawala Politik Era Sukarno.
Dengan nada yang meremehkan, kata Ganis, Aidit berkata bahwa Pancasila mungkin untuk sementara dapat mencapai tujuannya sebagai faktor penunjang dalam menempa kesatuan dan kekuatan Nasakom. Akan tetapi begitu Nasakom menjadi realitas, maka Pancasila dengan sendirinya tak akan ada lagi.
Menurut Ganis Harsono, mungkin karena sangat terpengaruh oleh sikap Aidit yang dianggap menyelewengkan Pancasila itu, maka tiba-tiba presiden Sukarno menuntut untuk diadakannya acara peringatan hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1964.
“Hari itu adalah hari ulang tahun kesembilan belas Pancasila, dan banyak kalangan yang menganggap aneh, bahwa hari itu diperingati falsafah negara Indonesia secara resmi untuk pertama kalinya. Slogan yang dipilih adalah Pancasila Sepanjang Masa,” kata Ganis.
Setelah itu, kata Ganis, rasa kebencian dan ketidaksukaan yang timbul di antara Sukarno dan Aidit terlihat semakin nyata.
Sementara itu, kantor berita Antara, 6 Juni 1958, memberitakan bahwa peringatan hari lahir Pancasila pertama kali diselenggarakan pada Kamis malam, 5 Juni 1958 di Istana Negara.
Menteri Penerangan Sudibjo dalam pidato pembukaannya antara lain menyatakan bahwa peringatan lahirnya Pancasila ini adalah yang pertama, dan untuk pertama kali pula diperdengarkan Mars Pancasila gubahan Sudharnoto.
Acara itu, lanjut Antara, dihadiri oleh anggota kabinet, parlemen, Dewan Nasional, pemimpin partai, dan tiga atau empat ribu undangan. Sedangkan di luar puluhan ribu rakyat mendengarkan pidato melalui pengeras suara.
Dalam pidatonya yang berapi-api, Presiden Sukarno menyatakan bahwa Pancasila telah memberikan bukti kepada kita, bahwa ia dapat mempersatukan bangsa Indonesia, hingga dapat merebut kemerdekaan dan mempertahankannya.
Menurutnya, Pancasila adalah suatu Weltanschauung atau suatu pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa Indonesia.
Dirinya membantah dengan tegas bahwa Pancasila adalah hasil dan kumpulan telaah dari ajaran Budha.
“Berdasarkan ini presiden menyampaikan permintaannya persoonlijk, supaya dalam menyusun UUD yang tetap soal Pancasila ini jangan diperdebatkan lagi. Serupa halnya dengan warna bendera kita yang Merah Putih dan lagu kebangsaan kita Indonesia Raya, yang menurut harapannya jangan pula diperdebatkan lagi,” tulis Antara waktu itu.
Atas peristiwa tersebut, PKI kemudian berusaha membuat pelurusan dan pembelaan atas pernyataan Aidit dengan menerbitkan Aidit Membela Pantjasila (1964).
Selain itu, Aidit juga menyampaikan pandangannya tentang agama dan Pancasila dalam wawancara dengan wartawan Solichin Salam yang dimuat dalam majalah Pembina, 12 Agustus 1964.
Sementara itu, peringatan Hari Lahir Pancasila kemudian dilaksanakan setiap tahun yaitu setiap tanggal 1 Juni. Terakhir Sukarno memperingati Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1966. Setelah itu, rezim Orde Baru menjadikan Bung Karno tahanan rumah hingga meninggal pada 21 Juni 1970.
Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal TNI Soeharto yang memegang kendali negara dengan mandat Supersemarnya, pada tanggal 17 September 1966 menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila dan hari peringatan keberhasilan Soeharto menggagalkan upaya kudeta 1965.
Walaupun begitu, Soeharto juga sempat memperingati Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1967 dan 1968.
Sebagai upaya menghapus warisan Orde Lama Sukarno (desukarnoisasi), rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto melalui Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada akhirnya melarang peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni mulai sejak tahun 1970.
Hari yang selalu diperingati oleh negara pada zaman Orde Baru adalah Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober.
Sampai pada akhirnya, Presiden Jokowi pada tanggal 1 Juni 2016 menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) No. 24 Tahun 2016 yang menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila yang kemudian ditetapkan sebagai hari libur nasional pada tahun 2017. [berbagai sumber: jayadewata]