Terpaksa Mulung Demi Bertahan Hidup

Kehidupan seorang pemulung
dok - pakuan

[BP] – Tatar Sunda

Cianjur, – Tidak semua orang merasa beruntung, ada yang diatas segalanya dengan dunianya ada pula yang jauh dari segalanya. Padahal pada hakikatnya semua sama adalah manusia dengan segala keberkahanNya.

Mereka yang merasa jauh lebih beruntung, hendaklah mereka bersyukur dengan segala limpahan rezeki yang memenuhi segala kebutuhan duniawinya. Janganlah sesekali merasa angkuh dan sombong karena semua adalah titipan dariNya.

Dan dia yang jauh dari kata cukup bahkan serba kekurangan, rela menguras keringat dibawah terik matahari mencari botol-botol dan gelas plastik bekas minuman untuk dijualnya demi sesuap nasi. Namun dia tetap ikhlas menjalani dan menerima kehidupan yang teramat perih itu.

Ya, dia tetap bersyukur dengan penuh kesabaran dan menerimanya sebagai suratan yang digariskan Tuhannya.

Jika Tuhan berkehendak, maka tak mungkin siapapun akan bisa menolaknya. Ketahuilah segala apa yang diberikan tuhan bukanlah serta merta anugerah yang dicurahkanNya, bisa jadi itu adalah ujian untuk mengukur keimanan kita kepadaNya.

Tanpa kita sadari, bahkan sering kita lupakan siapa yang memberi rezeki. Terkadang kita bangga dengan gelimangan harta tanpa memikirkan apakah itu anugerah ataupun musibah.

Sejatinya 2.5% dari harta yang kita miliki adalah hak mereka yang membutuhkan. Manusia diturunkan ke dunia tidak semua dibuatnya kaya raya, ada yang miskin ada pula sangat jauh dari kata cukup. 

‘Lalu ingatkah kita kepada mereka?’

Satu diantara sekian banyak orang yang kurang beruntung adalah Bapak Didi, warga Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat. Setiap hari ia mencari nafkah untuk keluarganya dengan memulung botol-botol dan gelas bekas minuman yang kemudian ia kumpulkan dan dijualnya ke pengepul.

Dalam sehari ia hanya mampu mengumpulkan beberapa kilo plastik bekas untuk dijualnya.

“Kadang Rp. 15.000,- kadang Rp. 10.000,- hasil mulung nggak menentu. Bahkan kalau hujan bisa nggak mulung sama sekali, sementara keluarga saya harus tetap bisa makan,” keluh Didi saat ditemui lagi mulung di Jalan Raya Cianjur – Sukabumi Ciwalen – Warungkondang.

Jika kita pikir uang sebesar itu hanya cukup buat apa, jangankan memenuhi kebutuhan keluarga untuk diri sendiri pun rasanya masih kurang. Manusia yang memang selalu merasa kurang pasti akan selalu dibayangi rasa takut atas kekurangannya itu.

Pesan yang bisa kita ambil dari Bapak Didi ini, adalah pelajaran yang sangat berharga. Yang mana ia berjuang dengan penuh keikhlasan demi tanggung jawabnya sebagai tulang punggung keluarga.

Semoga ada hikmat dibalik cerita seorang pemulung yang penuh rasa tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya. [sr]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *